Aisyah dan Landak

“Kamu benar, Aisyah,” kata gulungan itu. “Aku adalah seekor landak, dan
aku bisa melukaimu dengan duri-duri tajamku biarpun aku tidak
menghendakinya.”

“Allah memberiku duri-duri ini untuk melindungi diri dari
musuh-musuhku,” balas landak. “Ketika berada dalam bahaya, aku bergulung
seperti sebuah bola, dan duri-duri ini melindungiku.”
“Aku tahu, beberapa binatang pergi tidur sepanjang musim dingin. Bagaimana denganmu?” tanya Aisyah pada teman barunya.

Al Quran mengatakan ini:‘Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah tidurmu di waktu malam dan siang hari dan usahamu mencari sebagian dari karuniaNya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang mendengarkan.’ (Surat ar-Rum: 23).”

Aisyah berpikir sejenak. “Dalam sebuah film dokumenter, aku melihatmu
bertarung tanpa kenal takut melawan seekor singa besar. Kok bisa kamu
tidak takut pada singa?”
Temannya menjawab, “Karena duri-duri di tubuhku ini, yang telah
diberikan Allah sebagai rahmat. Sehingga membuat diriku berani melawan
bahkan musuh-musuhku yang paling berbahaya. Ketika seekor singa
menyerang, pertama-tama aku melarikan diri dengan cepat. Lalu, aku
tiba-tiba berhenti di tempat yang tepat, menaikkan sedikit bagian
belakang tubuhku, dan menunjukkan duri-duriku di sana. Jika singa
mencoba menangkapku dengan gigi-giginya, duriku akan menusuk mulut dan
pipinya, membuat luka yang tidak dapat disembuhkan.”

“Kamu benar, saudara landak,” Aisyah menyetujui, ketika ia memperhatikan duri-duri landak lebih cermat lagi.
“Setiap kali kuperhatikan binatang, dan keragaman ciptaan Allah, itu
membantuku melihat kebesaran Allah dan keajaiban penciptaanNya.
Terimakasih untuk obrolan yang menyenangkan ini,” kata Aisyah, sambil
kembali bergabung dengan keluarganya sebelum mereka bertanya-tanya ke
mana ia pergi.
“Selamat jalan, temanku,” seru landak itu.

Mansur terkejut oleh suara yang datang dari sebuah poster di dekat tempatnya berdiri:
“Hei, Mansur, salam!” kata sebuah suara yang sangat dalam. “Mengapa kamu dan ibumu tidak berkunjung ke sini saja?”
Mansur mengarahkan kepalanya ke arah suara itu. Suara itu ternyata
berasal dari seekor beruang kutub di poster yang tergantung tepat di
sebelahnya.
“Halo!” katanya. “Kupikir, kamu adalah manusia salju raksasa.”

Beruang kutub itu tersenyum gembira. “Kamu benar. Dengan tubuh yang
begitu besar, ditambah bulu-bulu putih ini, kami menyerupai manusia
salju. Namun, dengan tubuh seberat 1.700 pon (800 kilogram), setinggi 8
kaki (2,5 meter), kami yakin jauh lebih besar daripada mereka.”
“Aku ingin datang mengunjungimu, mengenal dirimu dan keluargamu lebih baik lagi. Tapi, tempat tinggalmu benar-benar dingin.”
“Memang betul,” beruang itu menyetujui. “Kami tinggal di kawasan paling
dingin di dunia seperti Kutub Utara, Kanada Utara, Siberia Utara, dan
Antartika.”

“Pertanyaan yang bagus,” komentar teman baru Mansur. “Biar kujelaskan.
Setiap bagian tubuh kami dirancang sesuai dengan lingkungan tempat
tinggal kami. Menghadapi dingin yang membeku, es, juga badai-badai
salju, lapisan lemak tebal yang secara ajaib diciptakan Allah di bawah
kulit-kulit kami melindungi kami dari hawa dingin. Bulu-bulu kami, yang
juga diciptakan secara khusus, tebal, lebat dan panjang. Allah
menciptakan kami sesuai dengan iklim tempat tinggal kami. Pernahkah kamu
berpikir mengapa kami tidak tinggal di gurun-gurun Afrika? Pikirkan
itu! Jika kami tinggal di gurun pasir, kami akan kepanasan dan mati.
Inilah salah satu tanda bahwa Allah telah menciptakan setiap makhluk
hidup sesuai dengan lingkungan tempat tinggalnya.”


Mendapat kesempatan luar biasa untuk berbicara dengan seekor beruang
kutub, Mansur mulai menanyakan apapun yang ingin diketahuinya:
“Aku ingat, sebagian besar beruang tidur di musim dingin. Apakah kalian, beruang-beruang kutub, juga begitu?”

“Bagaimana bayi-bayi yang baru lahir memperoleh makanan?” Mansur ingin tahu.

“Jadi, anak-anak itu hanya diberi susu saja?”

“Mansur, kamu akan menyadari bahwa karena kami tinggal di belantara yang
dingin, dan jelas-jelas tidak mampu menyelidiki apapun bagi diri kami
sendiri, maka tak mungkin kami dapat mengetahui makanan yang diperlukan
oleh bayi-bayi kami ketika baru saja dilahirkan. Juga, jelas tak mungkin
bagi kami untuk menghasilkan susu di dalam tubuh kami sekehendak kami
dengan upaya kami sendiri. Susu kami bahkan tidak diproduksi oleh pabrik
paling modern sekalipun. Kebenaran ini jelas memperlihatkan kami
keajaiban penciptaan Allah.”
“Kamu benar, temanku,” Mansur setuju. “Sedikit saja orang berpikir, maka
ia dapat melihat keajaiban yang terjadi di sekitarnya setiap saat.”

Beruang kutub melanjutkan pembicaraan tentang dirinya. Kemudian ia berkata.
“Sekarang, aku punya pertanyaan untukmu. Tahukah kamu bahwa
beruang-beruang kutub adalah perenang dan penyelam yang sangat baik?”

“Aku nggak bercanda,” kata sang beruang. “Kami, beruang kutub, berenang
dan menyelam dengan ahli. Ketika berenang, kami manfaatkan kaki-kaki
depan. Allah, Sang Maha Pemurah, menciptakan kaki-kaki kami sedemikian
rupa hingga dapat digunakan seperti dayung untuk berburu dengan mudah.
Ia memberi selaput di antara jari-jari kami, seperti selaput di antara
kaki-kaki bebek. Juga, untuk memudahkan berburu, Allah menciptakan kami
sedemikian rupa hingga kami dapat menutup lubang hidung kami di dalam
air, dan membuat mata kami tetap terbuka.”
“Seperti dapat kamu lihat, Mansur,” beruang kutub melanjutkan. “Allah
telah menciptakan kami agar dapat bertahan hidup dalam kondisi-kondisi
yang betul-betul sulit. Tidaklah mungkin kami mengembangkan sendiri
ciri-ciri ini pelahan-lahan. Juga, tidak mungkin kami memperolehnya
secara tiba-tiba. Allahlah yang mengajari kami apa yang kami perlukan
untuk bergerak di air.”

“Sama sekali tidak,” kata beruang itu, sedikit bangga. “Kalau kalian,
manusia, meletakkan tangan atau kaki kalian di atas gunung es, kalian
harus cepat-cepat mengangkatnya. Tapi kami bahkan tidak merasa dingin,
karena Allah menciptakan kaki berlapis bulu tebal, hingga tidak
terpangaruh oleh hawa dingin. Jika kaki-kaki kami tertutup kulit seperti
kamu, kami tidak akan pernah mampu hidup di lingkungan dingin seperti
ini.”

“Mansur, tahukah kamu mengapa kami berwarna putih atau kekuningan?”
“Tidak. Aku tidak pernah memikirkannya. Mengapa?”

Mansur terkesan. “Betapa masuk akalnya,” katanya. “Jika kamu hitam
seperti burung gagak atau berwarna-warni seperti nuri, maka tak mungkin
bagimu untuk bersembunyi. Itu berarti, kamu dalam bahaya.”
“Ya, Mansur. Ada banyak hal yang tidak pernah dipikirkan orang, dan
hal-hal yang membuat mereka terbiasa menyaksikannya. Kenyataannya, Allah
telah menciptakan apapun sesuai dengan kebijakan ilahiahNya.”

Memikirkan percakapannya dengan beruang kutub, Mansur menyadari betapa
pentingnya kehidupan ini. Setiap informasi baru yang dipelajarinya,
meningkatkan cinta dan kekaguman pada Allah. Karena ini, ia ingin
mengetahui lebih banyak lagi tentang beruang-beruang kutub.
“Aku yakin hidungmu lebih sensitif untuk membaui dibanding hidung kami, betulkah itu?” ia menduga.
Beruang menganggukkan kepalanya lagi. “Ya. Indera penciuman kami begitu
kuat hingga kami dapat dengan mudah mendeteksi anjing laut yang
bersembunyi di lapisan salju sedalam satu setengah meter. Seperti kamu
ketahui, Allah Yang Maha Kuasa memberikan keunggulan ciri-ciri yang
dimiliki tidak hanya pada kami, tapi juga pada makhluk-makhluk lain
dengan cara yang sama.”

Mansur melanjutkan: “Aku tahu, terdapat bukti pengetahuan dan kekuasaan
Allah yang luarbiasa dalam setiap makhluk hidup di muka bumi. Biarpun
begitu, mendapatkan keterangan lengkap mengenai makhluk-makhluk hidup
ini lebih banyak lagi, meningkatkan ketakjubanku pada penciptaan Allah
yang luarbiasa.”

Mansur berseru dalam ketakjuban: “Itu benar-benar sangat cerdik!”
“Ya, Mansur. Beruang tahu bahwa mereka dapat menyamarkan diri mereka
sendiri, dengan kata lain, menyembunyikan diri, karena bulu putih mereka
dan padang salju di sekitar mereka berwarna serupa. Namun, lebih jauh
lagi, mereka bahkan berpikir untuk menutupi hidung hitam mereka, yaitu
satu-satunya halangan untuk penyamaran mereka di tengah putihnya salju.
Tentu saja, seperti dapat kamu tebak, tidaklah mungkin beruang kutub
memikirkan sendiri apa yang perlu dilakukan setelah beberapa kali
kembali dari perburuan tanpa makanan, setelah itu baru menyadari bahwa
mereka perlu menutupi hidungnya! Beruang hanya bertingkahlaku
sebagaimana Allah mengilhamkan pada mereka untuk berperilaku. Allah
merancang mereka dengan cara ini. Pada akhirnya, mereka, seperti makhluk
hidup lainnya, berada di bawah kendali Allah.”

Mansur memutuskan untuk memberitahu Ibunya apa yang telah dipelajarinya
tentang beruang kutub dalam perjalanan pulang, dan menjelaskan seni
kreatif Allah yang tampak pada beruang-beruang itu. Ia berterimakasih
pada temannya atas percakapan yang mengagumkan itu, dan kembali ke
Ibunya.
Sesungguhnya telah Kami buatkan setiap macam perumpamaan bagi manusia dalam Al Quran ini supaya mereka mendapat pelajaran (Surat Az Zumar: 27).Allah Pencipta langit dan bumi, dan bila Dia berkehendak (untuk menciptakan) sesuatu, maka (cukuplah) Dia mengatakan kepadanya: “Jadilah.” Lalu jadilah ia (Surat Al Baqarah: 117).[Orang-orang dengan kecerdasan adalah] mereka yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadaan berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.” (Surah Al 'Imran: 191)

Ketika Ayahnya mengganti umpan pada kail, Umar duduk di sisi perahu
kecilnya, memandangi laut. Tiba-tiba, ia mendengar suara di belakangnya:
“Selamat pagi, teman kecil!” katanya dengan suara berbuih-buih.

“Sebenarnya,” kata ikan, “kami, ikan, tidak perlu bergerak terlalu
banyak agar bisa berenang; cukup hanya mengibaskan ekor kami dari sisi
ke sisi. Kami hidup dengan nyaman di dalam air karena tulang belakang
kami yang fleksibel dan beragam sistem di dalam tubuh kami.”

“Betul sekali,” teman barunya setuju. “Tapi ingat, tubuh kami telah
diciptakan secara khusus agar kami bisa melakukan itu. Coba pikirkan,
menurutmu, lebih mudah berjalan di air atau di tanah kering? Kami, ikan,
telah diciptakan dengan otot-otot dan tulang punggung istimewa agar
mampu hidup dan berenang di dalam air. Tulang punggung kami menjaga kami
tetap lurus dan juga menghubungkan sirip serta otot-otot kami. Kalau
tidak begitu, tak mungkin bagi kami untuk tinggal di air. Kamu lihat,
teman kecil, seperti makhluk hidup lainnya, Allah telah menciptakan
kami, ikan, tanpa kesalahan sedikitpun. Ia juga telah memberikan kami
kemungkinan ciri-ciri terbaik untuk lingkungan tempat kami tinggal.”

“Berkat sistem tubuh yang diberikan Allah pada kami, para ikan, kami
bisa melakukan itu,” balas temannya. “Seekor ikan memiliki kantung udara
dalam tubuhnya. Dengan mengisi kantung-kantung ini dengan udara, kami
dapat berenang ke kedalaman, atau mengarah lurus ke permukaan dengan
mengosongkannya. Tentu saja, kami tidak akan pernah memiliki kemampuan
sendiri untuk mengembangkan ciri-ciri ini, kecuali Allah
menghendakinya.”
Ketika ayah Umar meneruskan pekerjaannya di buritan perahu, Umar melanjutkan percakapannya dengan sang ikan:
“Aku memikirkan tempat-tempat yang sangat ramai. Setiap orang harus
bergerak ke kanan dan ke kiri pada waktu yang sama, dan dalam kegelapan,
tak mungkin setiap orang bergerak tanpa membentur orang lain. Bagaimana
kalian, ikan, mengatasi masalah tersebut?”
Ikan kecil itu mulai menjelaskan: “Untuk mencegah benturan dengan yang
lain di sekelilingmu, kamu harus melihat apa yang ada di sana, sementara
kami, ikan, tidak membutuhkan sistem penglihatan seperti itu. Kami
memiliki organ penciuman sempurna yang disebut “garis lateral.” Kami
dapat merasakan perubahan terkecil dalam tekanan yang mungkin terjadi
atau riak di air, atau gangguan terkecil dalam arusnya, begitu hal itu
terjadi karena sensor istimewa pada garis lateral kami. Dengan merasakan
getaran-getaran, kami mengetahui kapan musuh atau halangan itu ada,
tanpa benar-benar melihatnya dengan mata-mata kami. Detektor-detektor
ini utamanya peka terhadap getaran-getaran berfrekuensi rendah di
dekatnya. Misalnya, kami dapat merasakan langkah kaki di pantai, atau
apapun yang dilemparkan ke dalam air seketika, dan bertindak sesuai
dengan itu.”

Umar mengangguk penuh semangat. “Sekarang, aku paham. Aku bisa menyanyi
atau menyalakan radio di atas air. Itu tidak membuatmu tidak nyaman.
Namun, getaran paling lemah yang kubuat di atas air, misalnya jika aku
menggetarkan dermaga, atau melempar batu di dalam air, kamu semua akan
menghilang!”


Umar memperhatikan ikan itu lebih teliti, mengamati bahwa ikan itu tidak punya kelopak mata. Dengan terkejut, ia bertanya:
“Kamu tidak punya kelopak mata. Bagaimana kamu melindungi matamu?”
“Kamu benar,” jawab temannya. “Kami, ikan, tidak punya kelopak mata
seperti orang lain. Kami memandang dunia melalui selaput lembut yang
menutupi mata kami. Kamu bisa membandingkan selaput ini dengan kacamata
penyelam. Karena kami perlu melihat objek yang sangat dekat dengan kami,
mata kami telah diciptakan untuk keperluan ini. Ketika kami perlu
melihat ke kejauhan, seluruh sistem lensa bergerak ke belakang berkat
mekanisme otot khusus di dalam mata. Bahkan mata kecil kami punya
struktur yang rumit. Tidak diragukan lagi, inilah bukti-bukti keutamaan
penciptaan Allah lainnya.”

“Tahukah kamu, teman kecil, kalau tubuh-tubuh sebagian besar ikan tertutup oleh kulit yang sangat kuat?”
Omar berpikir beberapa saat. “Ya, kamu punya kulit bersisik, sudah kulihat itu. Tapi kulit itu tidak terlihat tebal.”

Umar setuju. “Ya, aku pernah mencoba memegang ikan dalam ember Ayah
dengan tangan, namun mereka seketika meloloskan diri dari tanganku!”
Ikan tersenyum: “Keistimewaan kulit kami tidak berhenti sampai di sini.
Di kulit atas kami, ada lapisan khusus terbuat dari keratin. Keratin
adalah bahan yang keras, liat, terbuat dari sel-sel tua yang mati di
lapisan bawah kulit yang tidak berhubungan lagi dengan sumber-sumber
makanan dan oksigen.”
“Lapisan terbuat dari keratin ini mencegah air memasuki tubuh, dan
bermanfaat untuk menyeimbangkan tekanan dalam dan luar. Jika lapisan ini
tidak ada, air akan masuk ke dalam tubuh kami, keseimbangan tekanan
akan hancur, dan kami akan segera mati.”

“Kamu benar,” ikan itu setuju. “Umar, seperti dapat kamu lihat,
Allah-lah, Pencipta segala sesuatu, yang memberikan ikan semua
keistimewaan mereka. Allah menyadari kebutuhan-kebutuhan semua makhluk
hidup.”
Umar mendengar suara Ayahnya dari buritan perahu.
“Ayo Umar, waktunya pulang!”

“Terima kasih atas keterangan yang sudah kauberikan. Setiap kali kulihat
seekor ikan, akan kuingat keutamaan penciptaan Allah sekali lagi, dan
bersyukur pada Tuhan atas segala rahmat yang diberikanNya pada kita.”
MAKHLUK BERWARNA-WARNI DI DALAM LAUT: 
BAGAIMANA IKAN BERNAPAS DI DALAM AIR?

BAGAIMANA IKAN BERNAPAS DI DALAM AIR?


Semester pertama di sekolah mereka telah berakhir. Setiap orang
mendapatkan rapor. Taufik dan teman-temannya mulai menikmati liburan
mereka. Namun karena cuaca begitu dingin, mereka tak bisa sering-sering
bermain di luar rumah pada hari-hari pertama liburan. Kendati demikian,
mereka masih berupaya untuk keluar sesekali, bertemu teman-teman dan
memainkan permainan, biarpun hanya sebentar. Kadang-kadang, mereka
bertemu di rumah salah satu teman dan berbincang-bincang sambil
menyantap kue-kue dan roti-roti kering yang telah disiapkan Ibu.

Segera setelah tiba di rumah, Taufik langsung menuju ke telepon dan
menghubungi rumah nenek Rasyad. Nenek Rasyad menjawab telepon itu, dan
langsung mengenali suara Taufik.

Nenek Rasyad menjelaskan bahwa Rasyad tidak datang untuk berlibur
bersamanya karena sedang sakit. Rasyad terkena flu berat dan harus
menghabiskan liburan dengan berbaring di ranjang dan beristirahat.
“Kuberikan nomor teleponnya padamu, ya,” kata nenek. “Rasyad akan sangat
senang mendengarmu.”
Taufik mencatat nomor telepon rumah Rasyad, dan langsung menghubunginya.

Rasyad meraih telepon itu dan berkata pada Taufik. “Aku gembira kamu meneleponku. Senang sekali mendengar suaramu.”
Taufik mengatakan pada Rasyad bahwa ia merasa kuatir karena tidak
melihatnya sepanjang liburan. Karena itu, setelah menanti beberapa hari,
ia menelepon nenek Taufik dan menyesal mendengar temannya sedang sakit.
Rasyad menjelaskan bahwa ia terkena flu yang cukup berat di awal
liburan, hingga harus tinggal di rumah karena doktor memerintahkannya
tetap di dalam rumah, beristirahat, tidak pergi ke manapun, sampai ia
betul-betul membaik. Jadi beginilah caranya menghabiskan liburan.

Rasyad berkata, “Aku senang kamu meneleponku. Sampaikan salam pada teman-teman, dan jangan lupa meneleponku lagi, ya.”
Taufik kembali memberitahu temannya agar segera membaik dan menutup
telepon. Ia sangat sedih karena temannya sakit dan harus menghabiskan
liburannya dengan cara seperti itu.
Ketika Ibunya melihat bahwa anaknya tampak sedih, ia bertanya apa
masalahnya. Taufik memberitahu Ibunya tentang masalah yang dialami
temannya. “Siapapun tahu betapa membosankannya menghabiskan liburan
dengan cara seperti itu. Aku membayangkan apa yang bisa kulakukan
untuknya,” kata Taufik.
Ibunya berpikir sejenak. “Mereka tidak tinggal terlalu jauh. Kamu bisa
pergi dan mengunjunginya. Ibu Rasyad adalah teman lama yang sudah lama
tidak Ibu temui. Ibu bisa pergi dan sekalian bertemu dengannya.”

“Telepon Rasyad, dan tanyakan kapan kita bisa mengunjunginya,” kata Ibunya.
Esoknya, Taufik menelepon Rasyad pagi-pagi. Ia memberitahu bahwa ia ingin mengunjungi Rasyad dengan Ibunya, hari berikutnya.
Rasyad sangat bahagia dan memberitahu Taufik kalau Ibunya juga sangat
gembira. Kata Rasyad, mereka mengharapkan Taufik dan Ibunya datang esok
hari.
Taufik dan Ibunya berangkat pagi-pagi. Setelah menempuh perjalanan
selama beberapa jam, mereka tiba di rumah Rasyad. Ibu Rasyad menyambut
hangat. “Aku senang sekali ketika kudengar kalian akan datang,” katanya.
“Kalian betul-betul baik mengunjungi kami.”

Kemudian, sesuatu menarik perhatian Taufik. Biarpun harus tinggal di
tempat tidur, dan menghabiskan liburannya dengan berbaring saja, Rasyad
tampak sangat ceria. Tampaknya ia sama sekali tidak sedih dengan
keadaannya.
“Kupikir aku bakal bertemu dengan seseorang yang sangat bosan dan tidak
bahagia,” katanya. “Kalau aku harus menghabiskan liburanku seperti ini,
aku akan betul-betul merasa sedih. Tapi kulihat kamu cukup ceria. Kamu
kelihatannya tidak terganggu sama sekali.”
“Kamu benar,” Rasyad setuju. “Pada hari-hari pertama, seperti itulah
yang kupikirkan, dan aku merasa sangat tidak bahagia. Aku begitu sedih
sampai-sampai tak bisa menghentikan diri menangis dari waktu ke waktu.
Sepupuku Ali datang mengunjungiku, dan merasa sangat kecewa ketika
melihat keadaanku. Ia mengunjungiku kembali beberapa hari kemudian,
ketika aku mulai sedikit membaik. Ia membawa buku. Katanya, ia belum
selesai membacanya dan akan memberikannya padaku ketika telah selesai
membacanya. Namun, ia ingin membacakan untukku bagian yang telah
diselesaikannya.”
“Saat kubilang kalau aku mau mendengarnya, ia membacakan bagian itu.
Buku tersebut menjelaskan bahwa Allah telah menciptakan segala sesuatu
untuk tujuan-tujuan khusus, dan bahwa ada kebaikan bahkan dalam hal-hal
yang semula tampak begitu buruk. Dikatakan buku itu, orang-orang yang
mempercayai Allah dan mengimaniNya, seharusnya bertindak sesuai dengan
pengetahuan bahwa rahmat Allah pasti ada dalam segala sesuatu.”

“Kamu benar,” Taufik setuju. “Ketika itu terjadi, semua yang bisa
kaulakukan adalah minum obat dan menanti agar kesehatan kita membaik.”
Rasyad melanjutkan pembicaraannya.
“Ketika jatuh sakit, sadarlah kita betapa berharganya kesehatan itu.
Ketika seseorang berada dalam kesehatan yang baik dan bisa berjalan,
berlari, juga bermain tanpa kesulitan, ia mestinya memikirkan tentang
kesakitan, dan bersyukur pada Allah. Ketika kamu bangun di pagi hari,
bisa berjalan, berlari, dan melakukan apapun yang kamu inginkan,
kapanpun kamu mau, tanpa bantuan orang lain, itu merupakan pemberian
yang luarbiasa dari Allah. Seperti dikatakan dalam buku ini, dengan
menciptakan penyakit, Allah membuat orang berpikir dan mengamati hal
ini.”
“Ya, apa yang kamu bilang itu betul,” Taufik mengangguk.

Saat itulah Ibu Taufik memasuki ruangan dan memberitahu anaknya bahwa sekarang saatnya pulang.
“Aku ingin membaca buku itu juga. Maukah kamu mengirimkannya padaku ketika kamu sudah menyelesaikannya?”
“Tentu saja,” kata Rasyad. “Akan kukirim ke rumahmu segera setelah aku selesai membacanya.”
Dalam perjalanan pulang, Taufik berpikir lagi tentang apa yang telah
dikatakan Rasyad. Ia gembira melihat temannya bahagia, dan menyimak apa
yang telah dikatakan Rasyad padanya. Ia berkata pada dirinya sendiri,
“Kesehatan benar-benar rahmat yang luarbiasa. Saat pulang nanti, akan
kuberitahu semua temanku tentang hal itu.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar